Friday, October 7, 2016
Cina itu kafir, dan itu karena Islam Intoleran Lagi dan untuk kesekian kalinya kutemukan cerita sejenis itu di laman jejaring sosial. Seorang perempuan yang merasa tersinggung, karena perempuan lain yang kebetulan seorang muslimah menolak bersalaman dengannya. Seketika, ungkapan bernada serupa, yaitu agama Islam adalah agama intoleran bertaburan di kolom komentar.
Tanganku awalnya sudah tergerak. Mengetikkan kata demi kata. Menceritakan tentang betapa tak adilnya labelisasi begitu. Menceritakan tentang muslim dan non muslim yang hidup damai di Aceh. Tentang tempat makan es campur kesukaanku --yang letaknya tepat diseberang gereja Methodis dan pemiliknya yang bernama Afuk-- serta beberapa warung makan terkenal di Banda Aceh yang pemiliknya warga keturunan Cina. Tentang toko buku langgananku, pemiliknya Ci Yani, perempuan Cina beragama Budha, yang ramah, baik tapi juga suka berdebat.
Sempat juga kutuliskan mengenai temanku yang kuliah di kedokteran. Orang keturanan Cina yang sampai hari ini dengan sengaja selalu mengirimkan ucapan selamat hari raya dan selalu mengingatkan (bertanya dengan iseng, tapi rutin) bahwa Natal akan tiba dan apakah tahun ini aku mengucapkan selamat Natal untuknya atau tidak.
Panjang kutuliskan semua itu, lengkap dengan permintaan untuk berpikiran terbuka dan jangan gampang melabeli orang lain. Tapi akhirnya kuhapuskan. Sederhana saja alasannya. Komentar itu tidak akan ditanggapi, lalu akan hilang tertimpa komen-komen lainnya. Pemilik postingan, dan yang berkomentar sepertinya memang bertujuan menyorot dan mengangkat soal intoleran itu. Yang komen pun hampir sebagian besar bernada sama.
Kenyataan yang kini berkembang di negeri kita ini memang aneh. Toleransi adalah segala sesuatu yang terjadi bila umat Islam mau mengalah, berkompromi, dengan kemauan mereka yang selain Islam. Bila tidak mau, maka intoleran.
Bila muslim di Aceh, atau wilayah mayoritas Islam, menetapkan larangan buka warung saat siang hari di bulan Ramadhan, maka itu adalah bentuk intoleransi. (Bisa dibaca di sini). Sementara ketika di Bali yang mayoritas Hindu bahkan menghentikan aktifitas bandara internasional dan seluruh pulaunya, itu dilabeli sebagai penghargaan pada adat budaya dan agama tempatan. Bukan mengadu antar agama, tapi kita sedang berbicara tentang opini yang dikembangkan media. Kenyataannya masyarakat Muslim di Bali dengan posisi sebagai minoritas saling menghormati dengan masyarakat Hindu, dengan segala kurang lebihnya.
Kenyataan juga di Aceh yang sejak puluhan tahun terkenal toleran, selalu ada segelintir mereka yang kehilangan identitas dan mencoba memecah belah kerukunan, yang tak jarang hanya demi kepentingan pundi-pundi rupiahnya semata. Mungkin pemilik penginapan yang ingin serasa di Amerika, lalu bersikukuh bahwa boleh saja pakai bikini yang bila ditotal lebar permukaan kainnya hanya sekitar 15 cm persegi. Padahal wisatawan asing rata-rata menghormati budaya lokal. Rata-rata, karena memang selalu ada rotten tomatoes dalam kebun tomat yang segar dan berkualitas.
Dan di sinilah aku, memutuskan menulis di laman blog yang tak terkenal ini. Alih-alih mengomentari postingan di laman jejaring sosial, karena secara perhitungan kemungkinan, tulisan di blog jauh lebih bertahan, dan bisa lebih panjang.
Aku sepenuhnya sadar, kita hidup di masa yang penuh dengan segala kemungkinan. Bukan hanya itu, kita juga hidup di sebuah masa depan yang berbeda jauh dengan impian masa depan kita dulu. Dari masa lalu dimana semua orang paham bahwa menghargai itu berlaku dua arah, kita sudah memasuki masa depan tempat toleransi adalah 'kondisi ketika kamu mau mengalah dengan keinginan orang lain'.
Kita berjalan dari tempat dimana orang berpikiran sederhana, bahwa kalau aku ingin dihargai, maka aku harus menghargai orang lain, bahwa kalau mereka berhak berbeda denganku, maka aku juga berhak berbeda dengan mereka. (Dan bila perbedaan itu bukan hal yang sangat penting kenapa harus diributkan.)
Kita berjalan dari masa lalu dimana musik begitu elegan, dengan tata nada yang indah, menghadirkan kebahagian, bisa menerbitkan kesedihan, mampu membakar gelora semangat, menuju ke masa sekarang ini, ketika penyanyi itu Justin Bieber dan seorang laki-laki yang terkikik sambil memegang pulpen dan apel.
Aku dan temanku, tetap berteman baik. Aku marah ketika dimana-mana banyak orang bicara soal Ahok Cina Kafir. Karena bagiku Ahok dengan segala perilakunya, yang bahkan berkata Tuhanpun akan dilawannya itu (pernyataan yang membuat marah semua orang beragama) silahkan dibenci sebagai dirinya saja. Ahok. Bagian Cina dan Kafir itu dihapuskan. Banyak orang Indonesia keturunan Cina yang baik, dan jujur saja bahkan banyak yang miskin. Dan soal definisi Kafir setiap agama punya definisinya, silahkan baca sendiri, lalu sesuaikan.
Setiap menjelang Natal, Bobby selalu mengirimkan sms. Natal ini lo ngucapin buat gue ga'. Dan itu adalah candaan abadi antara kami. Kami berteman baik sampai hari ini. Persahabatan kami jauh lebih besar dari sekedar ucapan saat hari raya. Kami tahu sama tahu, paham sama mengerti, bahwa soal agama itu wilayah pribadi. Tak mengucapkan selamat hari raya tidak mempengaruhi pertemanan kami.
Ketika dia terjatuh di kampus, aku yang terbirit-birit membawanya ke rumah sakit. Bergadang malam menemani. Juga ketika aku butuh bantuan, dia tak sungkan membantu. Dulu sebelum aku pindah ke Takengon, setiap ada perayaan orang Cina, sehari setelah itu, orang tuanya selalu menghubungi untuk mengundang makan-makan. Dan mereka memastikan menyajikan makanan halal untukku. Selalu menyenangkan obrolan disekeliling meja bersama mereka.
Mereka jarang bisa hadir datang bertamu saat lebaran. Karena hari libur panjang itu selalu menjadi kesempatan istimewa meraka bisa berlibur sekeluarga besar.
Intoleran? Ah, seandai perilaku oknum, menjadi landasan melabelkan buruk untuk suku,atau agama, atau bangsa. Aku yakin, tak ada lagi agama atau bangsa yang baik. Karena di manapun selalu ada oknum busuk yang mencemari hal baik disekitarnya. Sedikit, sangat sedikit. Tapi di jaman ini, ketika orang suka mencari keributan alih-alih kedamaian, yang sedikit itu dibesar-besarkan. Dan bila kita bodoh ikut terbawa,tak butuh waktu lama kita untuk hancur.
ngemeng-ngemeng Ihan kenal sama si Amin Lee anaknya Afuk :-D
ReplyDeleteLegend of es campur :D
DeleteSetuju sekali dengan tulisan ini..
ReplyDeleteMakasih Liza. Mungkin kita sama2 sudah lelah dgn negeri yg jadi ahli benci n cela ini.
DeleteApik!!!
ReplyDeleteYudi sekaramg berkawan baik sama anak cina peunayong kok koh sayid
Yudi kan memang orang cina :D
DeleteKami di Aceh Selatan, khususnya Tapaktaun, alhamdulillah aman-aman saja dgn China-China tu, kalau kita baik sm orang, pasti orang baik ke kita.
ReplyDeleteToleransi di Aceh berarti menghargai, menghormati, saling menjaga. Bukan campur aduk.
ReplyDelete