Sunday, July 5, 2015
Saya tidak ingat kapan mulainya. Tapi rasanya sudah sejak lama saya menjadi seorang mieholic, penyuka mie yang nyaris fanatik. Bahkan saya menganggap sebagai satu kewajiban bila berkunjung ke sebuah tempat untuk mencicipi mie ala daerah itu.
Sebut saja Mie Kocok, mie kuning dengan tauge mentah yang ditambahkan sebelum mie disiram dengan kuah kaldu sapi yang gurih. Di beberapa daerah variasi penyajian mie kocok menambahkan acar bawang merah dan daging sapi yang ditumis dengan bumbu dan dirajang halus. Ketika di Bandung, saya ingat saya membujuk Bang Mawardi untuk menemani saya kabur dari 'pelatihan' untuk pergi mencari sajian mie khas Bandung ini.
Saya juga pernah kena 'marah' oleh ketua panitia pelatihan di Palembang, ketika beliau menjemput ke hotel untuk makan malam di sebuah restoran, saya sudah keluyuran dengan anak-anak panitia acara untuk berburu Mie Celor, mie khas Palembang. Mienya seperti mie
lidi, panjang dan tebal. Kuahnya kental dengan paduan khas santan, kaldu dari udang dan tentu saja yang wajib ada, telur rebus. Rasanya gurih, sedikit asin, dan dasarnya tidak pedas.
Di Palembang juga, saya sempat mencicipi Mie Lendir. Mie khas Batam. Makannya bukan di restoran, tapi di rumah ibu Fatimah Assegaf, Salah satu donatur kegiatan yang keturunan Batam. Katanya sih citarasanya serupa dengan yang asli di Batam, tapi saya masih bercita-cita satu waktu nanti bisa mencicipi langsung di Batam.
Menyebut ragam olahan mie, pastinya yang jadi kesukaan saya adalah Mie Aceh. Ya iyalah, saya orang aceh, asli. Saya bahkan punya tempat-tempat tersendiri untuk mencicipi varian olahan mie aceh, di Banda Aceh. Ada yang khusus mie rebusnya, ada yang jadi andalan utamanya mie goreng, di tempat lain mie kepitingnya, yang lain lagi khusus mie goreng basah, mie tumis daging, mie udang, atau mie seafood (udang, cumi, kerang.)
Tapi seiring perjalanan waktu, semakin lama mie aceh yang original semakin hilang. Dimana-mana orang mulai terbiasa dengan mie aceh (yang menurut saya) varian baru. Dengan rempah yang sangat kuat dan pekat. Padahal dulunya, mie aceh walaupun kuat dengan aroma rempah-rempah, tapi terasa ringan saat dicicipi.
Dulu di Darussalam, Banda Aceh, ada mie tanpa 'merk'. Tidak ada logo khusus. bahkan di gerobaknya tak pakai nama apa-apa. Tapi kami menyebutnya mie ayah. Yang menjual mienya, 'Ayah' begitu panggilan kami untuk beliau, adalah pria bertubuh besar, dengan rambut putih di sisi kepalanya, karena yang atas sudah botak. Suaranya berat, kalau berbicara, logat aceh kental terdengar meskipun pakai bahasa indonesia. Bahasa acehnya, gaya lama, santun, dan bertabur dengan istilah-istilah bahasa aceh lama.
Tapi terakhir saya melihat beliau jualan adalah pertengahan tahun 2011. Sekarang tempat beliau mangkal, kosong.
Bertahun-tahun saya diam-diam merindukan mie aceh yang klasik. Tapi tak perduli saya mencari kemanapun, di Banda Aceh, saya tidak menemukannya. Padahal setiap ada kesempatan pulang ke Banda Aceh, saya pasti hunting mie aceh ke berbagai tempat. Banyak menemukan tempat-tempat baru dengan rasa yang enak, tapi tetap yang dicari tidak ditemukan.
Sampai beberapa bulan kemarin saya secara kebetulan menemukan mie aceh dengan citarasa klasik itu. Bukan di Banda Aceh, tapi di Takengon.
Letaknya di lorong SMEA, tak jauh dari pasar Inpres. Setelah lampu merah kedua ketika anda menyusuri jalan Takengon-Bireun menuju pusat kota. Bagi yang tahu kota Takengon, lorong pertama sebelah kiri setelah simpang Wariji. Ikuti saja lorong itu, nanti disebelah kiri setelah pedagang buah, ada tanda nama toko, Mie Sanusi.
Sanusi itu nama chef-nya. Bang Sanusi ini orang Pidie, tepatnya orang Garot. Bukan yang di Jawa, ini yang di Sigli. Sudah berjualan sejak lama. Ditempatnya sekarang, di Lorong SMEA, Blang Kolak I, saja sudah sejak tahun 2002.
Yang menarik, sebelumnya bang Sanusi bekerja di kantor P.U, tapi kemudian mengundurkan diri. Lebih memilih berdagang mie. Rejekinya lebih terjamin dan jelas sumbernya, begitu kata beliau. Warung Kopi tempat beliau berjualan bernama Jasa Teman.
Hehehe jadi teringat di Banda Aceh ada warung kopi terkenal Solong, yang kalau tidak salah nama aslinya adalah 'Jasa Ayah'
Seperti umumnya mie aceh, rasa rempah-rempah khas seperti bungong lawang kleng, kemiri, dan perpaduan cabai merah dengan cabai kering sangat terasa. Tapi komposisi yang pas, membuatnya ringan di lidah. Tidak seperti menyantap setumpuk rempah-rempah. Rasa mie dan air rebusan kaldu sapi juga muncul, tapi tidak menimpa rasa bumbunya. Samar ada terasa sedikit kunyit. Tidak lupa bawang acar yang dubuat dengan baik, sehingga tidak seperti makan bawang mentah, timun muda, dan keurupuk muling. Pedas? Pasti, ini mie aceh.
Ini cita rasa klasik. Yang selama ini saya rindukan. Setiap suapan mengingatkan saya pada masa kecil. menunggu dan dengan gembira menikmati ketika ayah pulang dengan sebungkus mie goreng. Saya teringat vespa spring 70 yang ayah punya. Teringat perjalanan pulang kampung, dan menikmati mie goreng di terminal sigli.
Ah, ini mie dengan citarasa nostalgia.
hahaha... aku tau lorong itu... kapan2 kesana kalo udah balik dari Palembang..
ReplyDeleteSip, ditunggu. Moga2 sekalian ada bonus novel Laila edisi gratis utk kami hehehe
DeleteYang jual Mie Aceh selalu khas orang Pidie ya Yed.
ReplyDeleteDulu waktu aku masih tinggal di Aceh Selatan, kecamatan aku tinggal aku ada yang jual mie Aceh. orang Pidie juga :D
Enak kok. Tapi hati-hati ya, jangan berdiri dekat ke tempat masak, ntar mendadak orangnya ngambek dan gak mau masak. Jadi, masuk aja dulu ke dalam baru pesan. #pengalaman
ReplyDeletekalo ga suka org berdiri depan , tempel aja tulisan dilarang berdiri disana,. atau kalo ga, tutup aja pintunya biar ga ada yg berdiri disana. gitu aja repot..
Delete