Saturday, June 20, 2015
Ramadhan kali ini dimulai di Banda Aceh. Dan jujur saja, panasnya suhu udara, teriknya matahari, semua hal yang sebenarnya sangat saya rindukan, membuat awal puasa ini jadi lebih 'berasa'.
Sejak akhir 2013 saya memutuskan pindah ke Takengon. Kota yang berada di tengah pegunungan, tinggi jauh dari permukaan laut, dan udaranya dingin. Dua tahun di Takengon, membuat badan saya mulai tidak terbiasa dengan udara panas khas pesisir.
Padahal saya merindukan udara pesisir. Saya merindukan laut dan pantainya. Saya merindukan wilayah yang bahasa pergaulanannya lebih saya pahami. Saya merindukan Banda Aceh dengan segala kurang lebihnya.
Konyolnya. Walaupun saya sudah tidak terbiasa lagi dengan udara panas khas pesisir, saya belum sepenuhnya beradaptasi dengan udara dingin yang menusuk di pengunungan. Setiap pagi di Takengon saya terbangun dengan hidung mampet, sedikit demam, dan kepala yang sakit. Setiap pagi ritual standar setelah shalat subuh dan mengaji, adalah menyesap secangkir kopi panas. Sambil bergelung dalam selimut atau jaket, dengan kain sarung melingkari leher. Semuanya demi menghadapi udara pagi yang kadang dinginnya luar biasa.
Tiga hari ini, kembali menghadapi panasnya pesisir, membuat saya mulai berpikir tentang hidup. Mungkin karena usia sudah 36 tahun, berpikir tentang kualitas hidup dan kualitas saat mati nanti jadi salah satu hal yang mulai rutin saya lakukan. Terlalu cepat? Bisa jadi. Kata orang barat, life begin at 40. Kata Mantri Puteh, hidup seorang laki-laki dimulai ketika disunat.
Berpindah. Hijrah dari Banda Aceh ke Takengon. Dari pesisir ke pegunungan, dari hidup sebagai trainer dan pembicara menjadi ayah rumah tangga (belakangan ditambah dengan dagang kopi Havennoer, dan kembali ngeblog). Perubahan dan perpindahan. Dan semuanya punya cerita yang sama, penyesuaian.
Hidup juga begitu kan.
Kita selalu berusaha jadi lebih baik. Meningkatkan kualitas diri, atau minimal kualitas isi dompet (atau kuantitas?). Kita mencoba menyesuaikan diri dengan sesuatu yang baru, kita merubah kebiasaan, kita membangun kebiasaan-kebiasaan baru. Dan kemudian kita nyaman dengan hal baru itu. Kita jadi terbiasa, dan yang baru itu menjadi sesuatu yang normal. Lalu tanpa sadar kita macet dititik itu. Kita nyangkut di zona nyaman.
Dan hidup tiba-tiba menjadi kehilangan daya tariknya. Semua berubah jadi rutinitas.
Mungkin ini sebabnya dulu para ulama suka melakukan perjalanan. Ketika kita melangkah keluar dari zona nyaman kita, tiba-tiba kita dihadapkan dengan perubahan yang mengganggu kestabilan kita. Kita dipaksa untuk kembali siaga dan berdaptasi. Dan saat itu, tanpa kita sadari, kita mengaktifkan kembali naluri kreatif kita. Penyesuaian selalu lekat dengan kreatifitas. Ah, panjang kalau dijelaskan. Tapi intinya, perubahan selalu membawa kita pada sisi kreatif yang baru. Kita melihat hal-hal baru, atau hal-hal lama yang penting dan terlupakan. Antara kita belajar sesuatu yang baru, atau kembali mengingat hal yang lama.
Pulang ke Banda Aceh, kembali menyesuaikan diri dengan lingkungan lama, tapi serasa baru karena saya sudah terbiasa dengan Takengon. Dan semuanya menjadi berbeda. Seolah saya melihat satu hal yang sudah lama saya punya, tapi dari sudut pandang baru. Dan itu menyenangkan.
Ternyata kita memang butuh untuk sesekali keluar dari zona nyaman kita. Kita perlu berdiri anatra dua titik. Seperti saya yang untuk sesaat berdiri antara Banda Aceh dan Takengon. Saya yang untuk sesaat, bukan orang Banda, bukan juga orang Takengon. Dan saat itu, saya bisa melihat banyak hal, yang selama ini tidak terlihat padahal terpampang jelas.
Post a Comment