Danau Lot Tawar, hal yang umumnya paling diingat, setelah
kopi, oleh mereka yang berkunjung ke Takengon, atau dataran tinggi Gayo. Dan
memang keduanya adalah ikon daerah yang mayoritas penduduknya suku Gayo. Suku
lain yang juga memiliki angka populasi cukup besar adalah Jawa dan Aceh.
Pertama kalinya saya mengunjungi daerah pegunungan ini
adalah tahun 1996, saat masih berstatus siswa SMU, dengan rombongan wisata
sekolah. Saat itu hal pertama yang saya sadari adalah dinginnya yang luar
biasa. Pada tengah hari pun, jaket masih akrab di badan. Bila pagi hari, nafas
memutih ketika dihembus, dan asap tipis mengapung dari permukaan air di kamar
mandi. Gunung-gunung disekitar kota dan sepanjang jalan lintas Bireun-Takengon,
masih sangat padat dengan pepohonan. Saya ingat, kami semua sempat diteriaki
oleh sopir bis sewaan yang kami tumpangi, ketika hampir separuh penumpang
berpindah kesalah satu sisi bus. Pasalnya sederhana, terkagum-kagum melihat air
terjun yang mengepulkan uap ditepi jalan yang kami lalui menuju Takengon air
panas terjun.
Sebelas tahun kemudian, tepatnya tahun 2007, saya kembali
mengunjungi Takengon untuk kedua kalinya. Dan sejak itu secara rutin beberapa
bulan sekali kembali ke Takengon. Bolak-balik yang membuat saya tertarik dengan
banyak hal yang tak saya dapatkan ketika berkunjung ke Takengon sebagai
‘wisatawan lokal’, sisi lain dari dataran tinggi Gayo.
Sekedar catatan, air panas terjun itu tidak lagi saya
temukan dan Takengon tidak sedingin dulu lagi.
Jalan dan Keahlian.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, pembangunan jalan lintas
dan jalan utama di kota Takengon berkembang pesat. Setelah melewati tikungan
yang berkelok dari Paya Tumpi untuk kemudian memasuki ‘gerbang’ kota Takengon,
pemandangan yang menyambut cukup indah. Terutama bila kita memasukinya saat
malam hari, atau dini hari bila menggunakan mobil penumpang L300. Barisan lampu
jalan dengan tiang yang menjulang dan warna kuning yang eksotis, dipadu dengan
dingin dan segarnya udara pegunungan memberi kesan yang dalam. Jalan aspal yang
lebar dan mulus itu, mengecil ketika memasuki wilayah pusat kota.
Dan jalan mulus itu ternyata bukan milik semua warga. Begitu
berbelok memasuki lorong-lorong, jalan menjadi sempit, penuh lubang. Dibeberapa
perkampungan, jalan semen menggantikan jalan aspal. Jalan yang tak jarang
sempit dan berliku dengan sudut yang mencengangkan, dibutuhkan manuver dan
keahlian tinggi untuk berkendaraan diperkampungan yang rata-rata sangat padat
penduduk. Rumah-rumah dengan ukuran yang kecil, dibangun seadanya, tanpa
memikirkan secara optimal aspek keamanan, dan tak jarang seolah tumbuh dan
berkembang. Karena dari sebuah rumah berlantai satu, lantai duanya bisa
dibangun mendadak, dan sedikit menumpang keatap tetangga.Memang beberapa
pemukiman terlihat indah, dan lumayan rapi, namun kebanyakan warga menetap diperumahan
yang sangat sederhana model begini.
Seolah tantangan manuver masih belum cukup, jalan semen ini
tak jarang ditambah lagi dengan kemiringan yang memukau. Kampung Blang Kolak
II, salah satunya. Hanya berjarak 10 meter dari jalan raya, berbelok memasuki
lorong, jalan semen menanjak sekurangnya 45°, bahkan bisa lebih miring lagi.
Mengendarai motor mendaki jalan seperti itu, jelas butuh keahlian. Sekedar
tambahan, jalan itu juga berbelok dan berlubang. Jalan model begitu juga bisa ditemukan
di Kampung Takengon Barat, Kampung Balee, dan beberapa lainnya.
Bukan Cuma di
Hongkong.
Selain terkenal sebagai pusat belanja, tempat dengan gaji
tinggi bagi pramuwisma sehingga TKW Indonesia berbondong-bondong dan berjamaah
datang, dan salah satu icon trendsetter
dunia. Hongkong juga terkenal dengan bangunan yang dibangun tumpang tindih,
sehingga tak jarang sambung menyambung, dengan lorong yang naik turun dan
rumit, menciptakan labirin wilayah kekuasaan dunia hitam yang bahkan aparat
keamanan terlatih pun enggan memasukinya.
Kesampingkan dunia hitam, kesampingkan jumlah lantai yang
menjulang ke atas. Pemukiman padat di Takengon pun memiliki kerumitan dan
kondisi yang tidak kalah unik. Terletak jauh di belakang bangunan megah di
pusat kota, atau di belakang pasar, atau tumbuh memanjang di sepanjang aliran
sungai, area perumahan yang rapat terbentuk. Lorong yang sambung dan putus
tanpa aturan. Rumah yang kadang hanya berukuran 3x4 meter namun berlantai dua,
dibangun berdempetan. Rata-rata berbahan kayu atau triplek. Struktur
penopangnya tak jarang seadanya. Saling menopang dengan rumah atau bangunan
disebelahnya. Ada juga yang menempel di dinding pagar bangunan lain, gudang
atau pagar dari bangunan instansi pemerintah. Beberapa bahkan layak untuk
disebut pemukiman domino, karena setiap bangunan, mengandalkan topangan dari
bangunan di kiri kanannya, salah sedikit, bisa mengakibatkan kerusakan yang
besar. Hati-hati bila berjalan, salah belok, bisa-bisa keluar dari tempat yang
jauh dari tujuan awal.
Pemandangan yang jarang ditemukan bila dilihat dari tengah
kota. Beberapa karena letaknya di tengah pasar, terhalang dengan pasar yang
mengelilinginya. Yang lainnya karena tumbuh di balik deretan bangunan
perkantoran. Tapi bila kita coba memutar dari sisi lain kota Takengon, membelok
memasuki wilayah Asir-asir, memandang keseberang sungai peusangan yang berhulu
dari danau Lut Tawar, barisan perumahan
rapat dengan atap seng berkarat akan terlihat jelas.
Bunga-bunga Takengon.
Takengon itu penuh bunga, kata seorang teman. Meskipun saya
faham yang dimaksudnya adalah dara-dara cantik dataran tinggi Gayo. Tapi saya
setuju karena memang bunga adalah salah satu hal yang menarik pandangan bila
berkunjung ke Dataran Tinggi Gayo.
Coba susuri jalanan melintasi Takengon, apakah nanti memutuskan
berbelok memutari pinggiran danau Lut Tawar, yang hanya menghabiskan waktu 2
jam dari sisi ke sisi, ataupun terus melintas membelah kota takengon menuju
seberang sana ke Bies atau Silih Nara. Bunga dan berbagai tanaman akan menjadi
teman di sepanjang jalan.
Kebun Jeruk. Lokasi: Lukup Badak |
Yang pasti paling terlihat adalah barisan cemara, tanaman
pendatang yang dibawa Belanda dan kini mendominasi lereng-lereng pegunungan
disekitar kota. Di belakangnya, memenuhi pegunungan
yang lebih tradisional, belum dirambah oleh tanaman pendatang, pohon-pohon
hutan tropis menatap pemukiman dibawah mereka, hijau gelap dengan selingan
warna yang lebih muda di beberapa tempat, bersisian juga dengan lahan
perkebunan masyarakat. Hijau sepanjang tahun. Tak ada musim gugur disini yang
memerah dan jingga kan dedaunan. Hanya ketika musim panen tiba, jingganya
tomat, merahnya cabai, dan kuningnya jeruk Gayo mewarnai celah-celah hijau.
Morning Glory liar |
Di sepanjang jalan, Bunga
Tasbih dan Dahlia menyemarakkan dengan ragam warnanya, kuning terang, merah
cerah, merah dengan semburat warna kuning, jingga, ungu dan beragam gradasi
warna biru. Bunga Dahlia di Takengon mekar dengan sempurna, lapisan setiap
kelopaknya bisa mencapai seukuran jari kanak-kanak. Di beberapa tempat Kembang
Kenop kuning dan putih muncul dengan rendah hati. Morning Glory liar sebaliknya dengan penuh keyakinan merambat
hampir disemua tempat, pagar kebun, batang pisang dan pohon Petai Cina, bunga
ungu tanaman rambat ini mengelayut manja nyaris dimana saja. Diatas mereka,
ditepi jalan atau di pinggiran kebun, Brugmania
Uaeolens berayun tenang dengan bunga terompet berwarna kuning lembutnya.
Bunga-bunga liar lainnya, tak dikenal namanya, juga semarak disela
tanaman kebun, pagar, dan pinggiran saluran air.
Menyusuri kota Takengon dan sekitarnya, ada banyak hal menarik.
Sisi lain yang lebih banyak lagi dari sekedar hanya mengunjungi danau Lut
Tawar. Beberapa teman memilih mendaki Bur Gayo dan berfoto di Gayo Highland (‘d’
nya terkapar dan belum diperbaiki). Yang lainnya memilih mencoba mengeksplorasi
beberapa gua alam, selain hanya berkunjung ke Gua Putri Pukes dan Loyang. Meskipun
ada juga yang jauh-jauh datang, untuk mancing di tengah danau.
Bersambung : Catatan Dari Dataran Tinggi Gayo: 2. Secangkir
Kopi dan Jelajah Kuliner
he?? bang sayed punya kok?? mutar2 cari jalan cerita tentang takengon, nyasarnya ke rumah bang sayed. minta kopi bang satu :D
ReplyDelete