Saya berdiri di depan rumah dengan bingung. Jujur saja tidak tahu harus melakukan apa. Di halaman rumah air masih menggenang, mobil kami terjungkat bagian belakangnya, membenamkan kap mesin ke dalam air.
Saya masih belum pasti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tadi pagi banjir tiba-tiba menerjang wilayah tempat tinggal kami sekeluarga. Semua porak-poranda. Bukan hanya wilayah kampung kami, tapi sepertinya hampir seluruh kota banda Aceh hancur. Ini banjir apa sebenarnya? Rasanya tidak pernah terbayangkan sama sekali akan ada kehancuran seperti ini.
Tadi pagi pada saat kejadian saya sempat terpisah dengan kedua orang tua saya. Entah dimana mereka sekarang saya tidak tahu. Mobil tetangga kami yang mereka tumpangi terlalu cepat untuk saya kejar. Tapi saya yakin mereka selamat. Saya juga tidak tahu bagaimana nasib adik-adik saya, mereka di Sabang. Katanya tadi pagi mereka akan berangkat pulang dengan feri penyeberangan dari Balohan ke Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya.
Kehancuran ini benar-benar parah. Dari jembatan Lampaseh Kota saya melihat kehancuran yang bahkan kata ‘mengerikan’ masih belum cukup untuk menggambarkannya. Entah dibenarkan agama atau tidak tapi saya menangis sekuat-kuatnya, diatas jembatan.
Dihadapan saya terhampar puing-puing bangunan dan mayat. Lampaseh Kota, Lampaseh Aceh, Alue Deah Teungoh, dan Deah Baro, rata dengan tanah. Saya bisa melihat dari kejauhan wilayah tempat tinggal Rina, Deah Geulumpang, hanya tersisa puing-puing yang nyaris rata.
Bagaimana caranya saya bisa kembali di rumah saya tidak pernah tahu. Yang jelas sekarang saya berada di depan rumah. Meski enggan tapi akhirnya saya paksakan melangkah ke arah jalan raya. Perut saya lapar, juga kehausan.
Pemandangan masih mengerikan ketika saya tiba di jalan raya. Di sepanjang jalan T. Nyak. Arief, berserakan mayat, reruntuhan bangunan, bangkai mobil dan motor dengan berbagai kondisi. Orang-orang berjalan tak tentu arah, mengais puing seperti mencari-cari sesuatu yang entah apa. Beberapa orang dengan tenang mengambil perhiasan dari tangan mayat-mayat, tidak ada yang berani melarang. Saya sendiri ingin melarang tapi sudahlah, itu urusan mereka dengan Allah.
Tiba-tiba saya bertatapan dengan seorang anak kecil, perempuan, usianya mungkin sekitar lima tahunan. Duduk diatas sebatang kayu bekas entah apa. Peluhnya bercucuran. Wajar saja, saat itu tengah hari. Tangannya terulur menggapai kearah seorang bapak berusia separoh baya, meminta sedikit air dari botol air mineral yang dipegang bapak itu. Tapi sentakan keras tangan si bapak membuatnya terguling jatuh ke dalam genangan air.
Berlari, tanpa sadar, saya menghampiri. Mata bening itu menyiratkan rasa takut, tapi ia tidak beranjak dari kayu yang didudukinya.
“Lapar ?”
Kepala kecil dengan rambut kusut masai itu mengangguk. Mestinya juga haus pikir saya sambil membelai kepalanya. Kebingungan saya mencari-cari. Subhanallah, tak jauh didepan saya sebungkus roti tersangkut pada ranting pohon.
Bergegas saya meraih roti itu, senyum kecil hadir pada wajah mungil yang muram sedari tadi. Tapi tiba-tiba satu pukulan di rusuk menghempaskan saya dalam genangan Lumpur. Bapak separoh baya tadi merebut roti itu dari tangan saya, dan langsung memakannya.
Saya masih berusaha bangkit ketika bapak itu terjatuh. Suara tercekik terdengar. Tangannya mendekap leher dengan ketakutan. Matanya memandang sekitar dengan liar, wajahnya pucat. Tak berani mendekat saya meraih gadis kecil itu, menutupi matanya agar jangan melihat pemandangan yang mungkin akan menambah kepedihannya.
Tiba-tiba bapak itu terbatuk. Roti yang tersangkut itu terlempar keluar. Tanpa mengucapkan apapun langsung ia berlari menjauh. Bertatapan dengan gadis kecil itu tanpa sadar kami tertawa. Meski tahu tidak sopan dan sebenarnya tidak boleh tapi tetap saja tawa itu lepas.
Saya lalu menunjuk ke arah sebuah toko di depan kami. Sepertinya masih ada isinya yang tersisa. Gadis kecil itu tertawa lalu menepuk-nepuk pundak saya.
Bangunan toko itu sepertinya cukup kokoh, dan setelah saya perhatikan sepertinya isinya masih cukup banyak. Sekilas saya bisa melihat rak-rak berisi biskuit dan soft drink.
Saya baru melangkah ketika lagi-lagi terdorong kesamping, dan untuk kedua kalinya tersungkur dalam lumpur. Dua orang anak muda menerobos masuk dan mengambil semua yang bisa mereka raih.
Istigfar, batin saya mencoba menenangkan emosi yang mulai menanjak.
Lalu tiba-tiba bagunan toko itu rubuh. Percikan lumpur memenuhi muka saya. Subhanallah, bayangkan betapa Allah menyayangi saya. Seandainya saya yang di dalam, aduh…
Kebingungan saya melangkah mundur. Sebenarnya inginnya lari menjauh, tapi kaki saya lemas. Lalu tiba-tiba saya melihat hanya berjarak beberapa langkah di depan saya diatas sebuah rak yang sepertinya terdorong air keluar dari toko, ada satu bungkus roti manis dan tiga botol air mineral ukuran besar. Saya terdiam memandangi roti itu dengan takjub. Hingga kemudian gadis kecil itu berlari menghampiri saya lalu mengambil roti dan air mineral. Tangannya kemudian menggapai mengajak saya kembali ke papan tempatnya tadi duduk.
Dengan tenang ia membagi roti itu menjadi dua potongan yang sama besar, lalu memberikan kepada saya sambil tersenyum. Air mata tanpa dapat saya tahan menetes mengaliri pipi.
Post a Comment